Oleh: Fajar Santosa, S.H., M.H.
Peneliti dan Advokat di Rumah Hukum dan Kebijakan Publik
Malangguide.com - Dikutip
dari SuryaMalang.com 24 September 2019, telah terjadi suatu peristiwa: seorang
makasiswi (RN) di Kota Malang melaporkan kepada kepolisian seorang
mahasiswa yang bernama (MBE) karena
diduga melakukan tindak pidana pemerkosaan. Setelah dilakukan pendalaman oleh
kepolisian ternyata MBE memiliki alibi yang kuat tidak melakukan tindak pidana
dimaksud. Terungkap bahwa pelaporan oleh RN terhadap MBE itu diduga dilakukan
karena disuruh oleh seseorang yang lain (AL) yang berstatus sebagai pacar RN, karena
motif dendam kepada MBE. RN kemudian mengakui bahwa pelaporan yang dia buat
adalah palsu.
Isu
hukumnya, bagaimana hukum pidana dapat menjangkau perbuatan RN tersebut?
Terdapat
beberapa pasal dalam KUHP yang bisa digunakan untuk menganalisis peristiwa
konkrit diatas, yaitu: Pasal 220, pasal 242, pasal 317, dan pasal 318 KUHP.
Keempat pasal tersebut memiliki unsur-unsur yang hampir berdekatan secara
pemaknaan namun memiliki konsekuensi hukum yang berbeda.
Pasal
220: Barang siapa memberitahukan atau mengadukan bahwa telah dilakukan suatu
perbuatan pidana, padahal mengetahui bahwa itu tidak dilakukan, diancam dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.
Pasal
242: Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya
memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada
keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas
sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya
yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
Pasal
317: Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan
palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang
seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena
melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal
318: Barang siapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu
persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan suatu perbuatan pidana,
diancam karena menimbulkan persangkaan palsu, dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
Pada
peristiwa konkrit di atas, unsur barang siapa telah terpenuhi RN sebagai subjek hukum. Dalam perkembangan
diketahui bahwa RN melakukan perbuatan itu karena disuruh oleh pacarnya (AL)
maka itu bisa dikembangkan dalam konteks penyertaan pasal 55 KUHP.
1.
Dalam hukum
pidana ada berbagai cara KUHP merumuskan suatu tindak pidana, variasinya
adalah: Mencantumkan semua unsur pokok, kualifikasi, dan ancaman pidana;
2.
Mencantumkan
semua unsur pokon tanpa kualifikasi dan mencantumkan ancaman pidana ;
3.
Sekadar
mencantumkan kualifikasinya saja tanpa unsur-unsur dan mencantumkan ancaman
pidana.
Pasal 220 dan pasal 242 KUHP hanya menyebutkan
unsur-unsur tindak pidana beserta ancamannya, tidak menyebutkan kualifikasi
tindak pidananya. Pasal 220 KUHP ancaman hukumannya paling ringan diantara
keempat pasal yang kita analisis tersebut yaitu maksimal pidana penjara satu
tahun empat bulan. Pasal 242 KUHP ancaman hukumannya paling lama penjara tujuh
tahun.
Hal
itu berbeda dengan Pasal 317 dan 318 KUHP yang disebutkan secara eksplisit
kualifikasi tindak pidananya, yaitu masing-masing pengaduan fitnah dan persangkaan palsu, keduanya dengan
ancaman maksimal pidana penjara empat tahun.
Unsur
perbuatan berupa dengan sengaja membuat pelaporan kepada kepolisian telah
terjadi tindak pidana (pemerkosaan yang dituduhkan kepada MBE) telah nyata
terpenuhi. RN sebagai subjek hukum yang telah dewasa tentu dengan penuh
kesadaran mengerti bahwa pelaporan
terhadap MBE adalah suatu kebohongan, karena sejatinya MBE tidak melakukan
perbuatan sebagaimana yang dia laporkan tersebut.
Unsur
dalam pasal 242 KUHP adanya pemberian keterangan palsu diatas sumpah mungkin
dalam kasus ini tidak relevan karena biasanya seseorang yang bertindak sebagai
pelapor tidak diwajibkan mengangkat sumpah dalam pemberian keterangan dalam
Berita Acara Pemeriksaan sebagai Pelapor.
Sementara
delik persangkaan palsu sebagaimana dikualifikasi pasal 318 mensyaratkan adanya
keadaan status hukum bagi terlapor menjadi tersangka dalam suatu proses pidana.
Kita ketahui MBE sebagai pihak yang dilaporkan telah melakukan pemerkosaan,
tidak dalam status tersangka. Atau konkritnya, akibat pelaporan RN tersebut,
pihak MBE tidak berstatus sebagai tersangka. Kesimpulannya, dalam peristiwa
konkrit ini terhadap RN tidak dapat dikenakan pasal 318 KUHP persangkaan palsu.
Bagaimana
dengan kemungkinan diterapkan pasal 317
KUHP, pengaduan fitnah? Terkait delik
pengaduan fitnah sebagaimana dikualifikasi dalam pasal 317 mensyaratkan adanya
suatu keadaan bagi orang yang difitnah berupa
kehormatan atau nama baik yang diserang. Sebagai orang yang dilaporkan
kepada kepolisian melakukan tindak pidanan pemerkosaan, maka secara normal
pihak MBE adalah pihak yang dirugikan karena kehormatan dan nama baiknya
diserang. Namun demikian dalam hukum formil kita mengenal adanya tindak pidana
biasa dan tindak pidana aduan. Pasal 317 KUHP adalah masuk dalam kategori
tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan mensyaratkan, kepolisian baru bisa bertindak
jika ada pihak-pihak yang kemudian dirugikan mengadukan tindak pidana dimaksud
atau membuat pengaduan. Sebagaimana difinisi yang diberikan pasal 1 butir ke-25
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa pengaduan adalah pemberitahuan
disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang
berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak
pidana aduan yang merugikannya. Dalam
kasus di atas, kepolisian tidak bisa menerapkan pasal 317 KUHP kalau pihak MBE
tidak membuat pengaduan atas pengaduan fitnah yang dilakukan oleh RN.
Kesimpulannya,
pasal yang paling mungkin diterapkan terhadap RN adalah pasal 220 KUHP. Yang
bersangkutan memenuhi unsur memberitahukan atau mengadukan kepada kepolisian,
bahwa MBE telah melakukan pemerkosaan terhadapnya, padahal RN jelas mengetahui
bahwa BME tidak melakukan tindakan pemerkosaan itu. Namun jika BME kemudian
mengambil inisiatif membuat pengaduan kepada polisi atas tindakan RN tersebut,
maka Pasal 317 KUHP bisa diterapkan terhadap RN dan ancaman hukumannya jauh
lebih tinggi yaitu pidana pencara maksimal 4 tahun. Dalam hal ini RN akan kena
kualifikasi concursus idealis, satu perbuatan pidana melanggar dua pasal
ketentuan pidana yaitu pasal 220 KUHP dan 317 KUHP. Sistem pemberian pidananya
dengan mekanisme absorbsi (penyerapan) yaitu hanya dibebankan pidana pokok yang
paling berat, dalam hal ini ancaman pidana 4 tahun.
Wallaualam.