UPAYA HUKUM ATAS UU KPK HANYALAH JUDICIAL REVIEW

UPAYA HUKUM ATAS UU KPK HANYALAH JUDICIAL REVIEW

Senin, 21 Oktober 2019, 00.30




Malangguide.com - UU KPK sudah menjadi hukum yang berlaku (Ius contitutum) di Indonesia sejak  17 Oktober kemarin meskipun tanpa pengesahan dari Presiden (Pasal 20 ayat (5) UUD NRI 1945). Konon, UU tersebut diberi Nomor 19 tahun 2019 dan Nomor Tambahan Lembaran Negara 6409. Dengan demikian segala yang ditentukan dalam UU KPK tersebut sudah mengikat penggunanya (KPK) sebagai dasar menjalankan tugas dan fungsinya dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor).

Hampir semua akademisi khusunya akademisi hukum berpandangan bahwa UU KPK tersebut nyata-nyata mengandung unsur pelemahan terhadap lembaga KPK - kalau tidak mau dibilang pembunuhan terhadap KPK – namun demikian, undang-undang tersebut sudah diundangkan dan wajib hukumnya dijadikan landasan bagi penggunanya (user) yaitu KPK dalam menjalankan tugas memberantas tindak pidana korupsi. Lalu apakah tidak ada upaya hukum yang dapat dilakukan untuk memperbaiki UU KPK tersebut ?

Legislatif/Eksekutif Review Bukan Upaya Administratif

Undang-undang KPK merupakan produk kebijakan yang bersifat regeling atau mengikat banyak orang, selain kebijakan yang bersifat regeling pemerintah juga memiliki jenis kebijakan lain yang bersifat beschikking yaitu kebijakan yang hanya diperuntukkan pada individu tertentu. Terhadap rezim kebijakan yang bersifat beschikking masayarakat memiliki hak untuk mengkomplain (menggugat) melalui upaya administratif (administratieve beroep) sebelum ke jalur pengadilan. Namun dalam rezim kebijakan yang bersifar regeling tidak ada undang-undang yang menyediakan upaya administratif tersebut, sehingga masyarakat tidak memiliki ruang untuk menggugat secara formal melalui upaya administratif atas kebijakan regelling meskipun nyata-nyata sudah merugikannya.

Legisaltif atau eksekutif review yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan merupakan hak yang tidak mengikat pada pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden), sehingga sangat bergantung pada good will (inisiatif) dari pembentuk undang-undang untuk memperbaikinya. Seandainya masyarakat secara resmi mengajukan  upaya administratif kepada DPR atau Presiden sebagai pembentuk undang-undang, maka tidak ada kewajiban bagi kedua lembaga tersebut untuk membahasnya kembali. Hal ini berbeda dengan kebijakan yang bersifat beschikking yang disediakan upaya adminitratif bagi siapa saja yang merasa dirugikan atasnya (Pasal 75 UU 30/2014).

Berdasar hal di atas, masyarakat sesungguhnya tidak memiliki hak apa-apa atas legislatif review ataupun ekesekutif review termasuk Pengeluaran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU). Upaya yang bisa dilakukan masyarakat adalah upaya diluar hukum seperti menekan melalui tulisan, gerakan penggalangan petisi, aksi demonstrasi dan upaya non hukum lain yang bersifat menekan (pressure) pemerintah dan upaya ini sah disuatu Negara yang menganut sistem demokrasi.

Demo di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI

Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi 

Satu-satunya upaya hukum yang tersedia atas UU KPK hanya judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun wewenang MK dalam menguji undang-undang juga memiliki batasan, karena tidak semua undang-undang yang dianggap tidak sesuai dengan teori dan kaidah hukum serta tidak sesuai dengan harapan masyarakat dapat dibatalkan oleh MK, disamping itu MK juga hanya bisa menegatifkan sebuah undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang dasar (negative legislator) dan bukan dalam rangka mengatur kedaan yang perlu diatur karena hal itu menjadi domain pembentuk undang-undang (open legal policy).

Secercah harapan yang masih tersisa adalah uji formil terhadap UU KPK yang dilakukan MK.Sebagaimana yang sudah viral diketahui, bahwa pembentukan UU KPK menabrak banyak prosedur dalam UU No.12 Tahun 2011, kalau hal ini yang menjadi konsen MK dalam menguji UU KPK dan MK benar-benar menemukan adanya cacat formal atas UU KPK, Maka MK dapat membatalkan keseluruhan UU KPK dan memerintahkannya untuk mengembalikan kepada UU KPK yang lama demi mengisi kekosongan  hukum. Namun uji formal ini juga memiliki kelemahan karena bisa saja pembentuk undang-undang kembali membahas UU KPK yang dibatalkan untuk memenuhi aspek fomalnya saja tetapi tidak merubah apapun isi dari UU KPK tersebut.

Harapan lain adalah MK menggunakan batasan open legal policy sebagaimana yang telah tentukan dalam putusan Nomor 86/PUU-X/2012. Dalam putusan tersebut MK membatasi kekuasaan legislasi pembentuk undang-undang dengan beberapa kreteria yaitu: memperhatikan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, memperhatikan nilai agama,keamanan, dan ketertiban umum. Berdasar putusan tersebut masih terdapat harapan MK berpandangan bahwa UU KPK dibuat secara bertentangan dengan aspek keadilan atau akan menimbulkan kondisi yang tidak aman, sehingga MK  berpandangan pembentuk undang-undang telah melampau batas-batas kekuasaan legislasi dalam membentuk undang-undang KPK dan oleh karenanya harus dibatalkan.

Publiser  : Malangguide.com
Editor      : Alim Mustofa


TerPopuler