Oleh: Jamil,SH.MH
Malangguide.com - UU KPK sudah menjadi hukum yang berlaku (Ius contitutum) di Indonesia sejak 17 Oktober kemarin meskipun tanpa pengesahan
dari Presiden (Pasal 20 ayat (5) UUD NRI 1945). Konon, UU tersebut diberi Nomor
19 tahun 2019 dan Nomor Tambahan Lembaran Negara 6409. Dengan demikian segala
yang ditentukan dalam UU KPK tersebut sudah mengikat penggunanya (KPK) sebagai
dasar menjalankan tugas dan fungsinya dalam melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi (Tipikor).
Hampir semua akademisi khusunya akademisi hukum
berpandangan bahwa UU KPK tersebut nyata-nyata mengandung unsur pelemahan
terhadap lembaga KPK - kalau tidak mau dibilang pembunuhan terhadap KPK – namun
demikian, undang-undang tersebut sudah diundangkan dan wajib hukumnya dijadikan
landasan bagi penggunanya (user) yaitu KPK dalam menjalankan tugas memberantas
tindak pidana korupsi. Lalu apakah tidak ada
upaya hukum yang dapat dilakukan untuk memperbaiki UU KPK tersebut ?
Legislatif/Eksekutif Review
Bukan Upaya Administratif
Undang-undang KPK merupakan produk kebijakan
yang bersifat regeling atau mengikat
banyak orang, selain kebijakan yang bersifat regeling pemerintah juga memiliki
jenis kebijakan lain yang bersifat beschikking
yaitu kebijakan yang hanya diperuntukkan pada individu tertentu. Terhadap rezim
kebijakan yang bersifat beschikking
masayarakat memiliki hak untuk mengkomplain (menggugat) melalui upaya
administratif (administratieve beroep)
sebelum ke jalur pengadilan. Namun dalam rezim kebijakan yang bersifar regeling tidak ada undang-undang yang
menyediakan upaya administratif tersebut, sehingga masyarakat tidak memiliki
ruang untuk menggugat secara formal melalui upaya administratif atas kebijakan
regelling meskipun nyata-nyata sudah merugikannya.
Legisaltif atau eksekutif review yang akhir-akhir
ini banyak diperbincangkan merupakan hak yang tidak mengikat pada
pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden), sehingga sangat bergantung pada good will (inisiatif) dari pembentuk undang-undang untuk
memperbaikinya. Seandainya masyarakat secara resmi mengajukan upaya administratif kepada DPR atau Presiden sebagai
pembentuk undang-undang, maka tidak ada kewajiban bagi kedua lembaga tersebut
untuk membahasnya kembali. Hal ini berbeda dengan kebijakan yang bersifat beschikking yang disediakan upaya
adminitratif bagi siapa saja yang merasa dirugikan atasnya (Pasal 75 UU
30/2014).
Berdasar hal di atas, masyarakat sesungguhnya tidak
memiliki hak apa-apa atas legislatif review ataupun ekesekutif review termasuk
Pengeluaran Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (PERPPU). Upaya
yang bisa dilakukan masyarakat adalah upaya diluar hukum seperti menekan
melalui tulisan, gerakan penggalangan petisi, aksi demonstrasi dan upaya non
hukum lain yang bersifat menekan (pressure)
pemerintah
dan upaya ini sah disuatu Negara yang menganut sistem demokrasi.
Demo di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI
Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi
Satu-satunya upaya hukum yang tersedia atas UU
KPK hanya judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun wewenang MK dalam
menguji undang-undang juga memiliki batasan, karena tidak semua undang-undang
yang dianggap tidak sesuai dengan teori dan kaidah hukum serta tidak sesuai
dengan harapan masyarakat dapat dibatalkan oleh MK, disamping itu MK juga hanya bisa menegatifkan sebuah
undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang dasar
(negative legislator) dan bukan dalam
rangka mengatur kedaan yang perlu diatur karena hal itu menjadi domain
pembentuk undang-undang (open legal
policy).
Secercah harapan yang masih tersisa adalah uji
formil terhadap UU KPK yang dilakukan MK.Sebagaimana yang sudah viral diketahui, bahwa pembentukan UU KPK menabrak banyak prosedur dalam UU
No.12 Tahun 2011, kalau hal ini yang menjadi konsen MK dalam menguji UU KPK dan
MK benar-benar menemukan adanya cacat formal atas UU KPK, Maka MK dapat
membatalkan keseluruhan UU KPK dan memerintahkannya untuk mengembalikan kepada
UU KPK yang lama demi mengisi kekosongan
hukum. Namun uji formal ini juga memiliki kelemahan karena bisa saja pembentuk undang-undang kembali
membahas UU KPK yang dibatalkan untuk memenuhi aspek fomalnya saja tetapi tidak
merubah apapun isi dari UU KPK tersebut.
Harapan lain adalah MK
menggunakan batasan open legal policy
sebagaimana yang telah tentukan dalam putusan Nomor 86/PUU-X/2012. Dalam
putusan tersebut MK membatasi kekuasaan legislasi pembentuk undang-undang
dengan beberapa kreteria yaitu: memperhatikan tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, memperhatikan nilai agama,keamanan, dan ketertiban umum.
Berdasar putusan tersebut masih terdapat harapan MK berpandangan bahwa UU KPK
dibuat secara bertentangan dengan aspek keadilan atau akan menimbulkan kondisi
yang tidak aman, sehingga MK
berpandangan pembentuk undang-undang telah melampau batas-batas
kekuasaan legislasi dalam membentuk undang-undang KPK dan oleh karenanya harus
dibatalkan.
Publiser : Malangguide.com
Editor : Alim Mustofa