Oleh
: SRI SUGENG PUJIATMIKO, S.H.
Dalam
penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2020 akan diselenggarakan pada tanggal
23 September 2020, tenggang waktu yang tidak terlalu lama lagi, masyarakat akan
memberikan hak politiknya untuk memilih pemimpin daerah di masing-masing
kabupaten/kota.
Jadwal
untuk pendaftaran calon akan dilaksanakan pada tanggal 16 Juni sampai dengan 18
Juni 2020, sekitar delapan bulan lagi kita akan mengetahui siapa saja calon
yang diusulkan dari partai politik atau pasangan calon perseorangan untuk
berkompetisi dalam pilkada serentak tahun 2020.
Sebelum
masa pendaftaran pasangan calon tersebut, peran publik dan khususnya Bawaslu
Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terkait dengan proses
pencalonan pasangan calon. Dalam proses pencalonan yang diusulkan oleh Partai
Politik ini dibutuhkan persetujuan dari partai politik, baik di tingkat
provinsi bagi calon Gubernur dan tingkat kabupaten/kota bagi calon
Bupati/Walikota serta DPP Partai Politik.
Nah terkait
dengan proses pencalonan tersebut, kita tidak asing mendengar praktek “mahar
politik” untuk memperoleh surat persetujuan agar dapat mencalonkan diri sebagai
bakal calon Gubernur, Bupati atau Walikota. Terkait dengan mahar politik ini, pernah
“menggegerkan” Jawa Timur ketika proses pencalonan Pemilihan Gubernur tahun
2018 berlangsung, yang saat itu salah satu bakal calon Gubernur akan menjadi
salah satu bakal calon, tetapi terganjal karena diduga adanya “mahar politik”
yang harus disetorkan ke partai politik tertentu. Dan terkait dengan praktek “mahar
politik” tersebut telah dilaporkan kepada Bawaslu Jawa Timur, namun Bawaslu
Jawa Timur tidak dapat memproses lebih lanjut laporan tersebut, dikarenakan pihak
yang merasa dimintai “mahar politik” tidak hadir setelah diundang oleh Bawaslu.
Jadi, Bawaslu Jawa Timur tidak dapat memproses lebih lanjut, karena Bawaslu
Jatim dalam memproses laporan tersebut hanya bersifat pasif dan tidak melakukan
investigasi yang mendalam terkait dengan praktek “mahar politik”.
Apa
sebenarnya yang dimaksud dengan “mahar politik”, “mahar politik” adalah permintaan
atau penerimaan sejumlah uang dari seseorang yang akan mencalonkan diri untuk
memperoleh persetujuan dari partai politik untuk dapat dicalonkan sebagai bakal
calon dalam pilkada.
Sebagai
masyarakat, kita berharap dalam penyelenggaraan Pilkada serentak tahun 2020
yang sebentar lagi akan digelar, bebas dari praktek “mahar politik”, sehingga
dalam proses penyelenggaraan pilkada berjalan sesuai dengan asas
penyelenggaraan pilkada, yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan
beradap, sehingga pasangan calon fokus untuk “memenangkan” dalam kompetisi.
Sebab biaya politik yang dikeluarkan oleh pasangan calon juga tidak sedikit
untuk membiayai kegiatan kampanye yang akan dilakukan. Meskipun sebagian alat
peraga kampanye dan bahan kampanye akan dibiayai oleh Negara melalui KPU
Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Biaya
politik sudah pasti akan dikeluarkan oleh pasangan calon dalam berkompetisi,
dan setiap kompetisi memerlukan biaya, yang akan membutuhkan biaya yang tidak
sedikit.
Maka
dalam penyelenggaraan pilkada, spakah praktek “mahar politik” tersebut sesungguhnya
ada atau tidak, dalam perspektif masyarakat praktek “mahar politik” selalu menjadi
perbincangan hangat di kalangan masyarakat, dan selalu menghantui bakal calon
yang akan maju sebagai calon. Ada dan tidaknya praktek “mahar politik” belum
dapat dibuktikan secara fakta dan hukum oleh pihak yang berwenang, baik dari Bawaslu
atau KPK terkait “korupsi politik”, tetapi aroma “mahar politik” selalu tercium
di kalangan masyarakat, tetapi sulit untuk dibuktikan secara fakta dan hukum.
Kenapa, karena praktek “transaksional” tersebut hanya bisa diungkap jika ada
pihak yang melaporkannya, selama tidak ada yang “berteriak”, maka selama itu
pula praktek “mahar politik” sulit diungkap.
Sebagai
masyarakat hanya bisa menyuarakan dan merasakan saja, tanpa bisa
membuktikannya. Sehingga diharapkan peran serta masyarakat dalam mengawasi
proses pencalonan menjadi lebih penting, tetapi lebih penting lagi bagi lembaga
yang diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan itu, khususnya Bawaslu,
harus berperan lebih serius dan jangan hanya sekedar menggugurkan kewajiban
saja telah melakukan pengawasan tanpa hasil yang maksimal.
Peran
partai politik dalam proses pencalonan juga tidak melakukan praktek “mahar
politik” agar kompetensi pilkada yang kita bangun dalam koridor penyelenggaraan
pilkada yang terselenggara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil
dan beradab sebagai syarat mutlak untuk mewujudkan pemimpin yang berkualitas,
dapat dipercaya dan dapat menjalankan fungsi pemerintahan secara optimal,
dengan meningkatkan derajat kompetisi yang sehat, partisipatif yang makin kuat
dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kita
tidak dapat menyalahkan siapa yang melakukan atau siapa yang meminta “mahar
politik”, tetapi ketika penyelenggaraan semua pihak yang terlibat dalam pilkada
melaksanakan sesuai dengan aturan, maka akan menghasilkan pemimpin yang amanah.
Ketentuan
terhadap praktek “mahar politik” telah diatur sedemikian rupa dalam ketentuan
Pasal 187 B UU 10/2016 yang dinyatakan : “anggota
partai politik atau anggota gabungan partai politik yang dengan sengaja
melakukan perbuatan melawan hokum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada
proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta
Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1)
dipidana...”. Terhadap ketentuan tersebut bagi Partai Politik atau gabungan
Partai Politik yang terbukti menerima imbalan dikenai sanksi selain sanksi
pidana bagi orang yang melakukannya dan bagi Partai Politik dilarang mengajukan
calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. (mohon dibaca Pasal 47 ayat (2).
Jadi,
terhadap praktek “mahar politik” telah diatur ketentuan pidananya, karena
praktek “mahar politik” merupakan kualifikasi tindak pidana yang sanksinya
adalah pidana bagi orang yang melakukannya, dan bagi Partai Politik atau
gabungan Partai Politiknya dikenai sanksi tidak boleh mengajukan calon pada
peridoe berikutnya pada daerah yang sama. Tetapi Pasal itu, hanya “hiasan” dari
sebuah ketentuan peraturan perundang-undangan, kenapa, karena sulit untuk
dibuktikan secara fakta dan hukum. Kenapa sulit, karena praktek “mahar politk”
adalah perbuatan yang “saling menguntungkan” bagi pihak-pihak yang terlibat
dalam transaksional tersebut, maka sulit untuk diungkap secara hokum, tetapi
jika ada kesungguhan dari berbagai pihak, praktek “mahar politik” pasti dapat
diungkap. Selama penyelanggaraan pilkada belum ada praktek “mahar politik”
dapat diungkap, tetapi aroma dan statemen-statemen dari anggota Partai Politik
sempat diungkapkan tetapi sulit untuk dibuktikan. Maka oleh karenanya, semua
pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pilkada, kembali kepada jati diri
masing-masing untuk memuwujudkan penyelenggaraan pilkada yang langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, adil dan beradap.
Editor : Alim Mustofa
Publiser : Malangguide.com
Link : https://www.malangguide.com/2019/12/menjaga-hati-sama-pentingnya-dengan.html
Editor : Alim Mustofa
Publiser : Malangguide.com
Link : https://www.malangguide.com/2019/12/menjaga-hati-sama-pentingnya-dengan.html