Oleh Dr.Nofi Sri Utami,
S.Pd.,S.H.,M.H
Dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang
Malangguide.com - Indonesia pernah menerapkan 3
model demokrasi, antara lain demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan
demokrasi pancasila. Demokrasi parlementer dilaksanakan pada awal kemerdekaan
Indonesia sampai Desember 1949. Demokrasi terpimpin terlaksanaan dalam masa
orde baru sekitar tahun 1959 sampai 1998. Sementara demokrasi pancasila adalah
sistem demokrasi yang kita gunakan dari masa reformasi sampai sekarang. Sebagai
negara demokrasi, Indonesia telah memenuhi indikator negara demokrasi yaitu
dengan dilakukanya pemilu. Pemilu merupakan wujud dari adanya rotasi kekuasaan.
April 2019 telah diadakan pemilu di seluruh wilayah di Indonesia. Pemilu tersebut
merupakan pemilu pertama bagi para pemuda yang lahir setelah tahun 1997.
Berdasarkan data Kemendagri, ada sekitar 5 juta orang yang
tercatat sebagai pemilih pemula pada pemilu 2019. Selanjutnya menurut Direktur
Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga menyatakan
bahwa pemilih muda yang dikategorikan sampai umur 35 tahun tercatat ada lebih
dari 50%. Berdasar data yang telah di himpun oleh Republika bahwa Jumlah
pemilih milenial di pemilu 2019 tercatat sangat signifikan. Diperkirkan pemilih
milenial, mereka yang berusia 17-35 tahun, berjumlah 40 persen dari total
jumlah pemilih yang ada. Ini mengartikan bahwa pemilih milenial menjadi penentu
siapa pemimpin kedepannya dan ke mana arah bangsa akan dibangun. Tak hanya itu,
bahwa pemilih milenial yang relatif masih muda diharapkan akan memberikan
perubahan untuk menjadi lebih baik. karakter generasi milenial ialah melek
informasi. Hidup mereka banyak berkecimpung di dunia maya. Mereka terkoneksi
satu sama lain melalui media sosial. Inilah titik pembeda antara generasi
milenial (17-35 tahun) dengan generasi X (36-55 tahun) serta generasi baby boomers (55 tahun ke
atas). Dunia maya menjadi tempat pemilih milenial dalam beraktivitas, tersedia
informasi yang melimpah dan bisa diperoleh secara cuma-cuma. Sehingga, riwayat
dan jejak rekam masing masing calon kandidat akan mudah diselidiki dan
diketahui. Gampangnya akses atau mendapatkan sebuah informasi, sebenarnya
menjadikan tantangan bagi kaum milenial dalam mengelola informasi yang telah
didapat. Apakah kaum milenial menerima
informasi dengan menerima suatu kebenaran tersebut dengan Cuma cuma ataukah
berfikir terlebih dahulu sebelum mengiyakan kebenaran dari informasi yang
didapat.
Kelompok kaum milenial tentunya
memiliki adaptasi politik yang berbeda dengan kelompok yang lebih tua, pemilih
milenial yang relatif usia masih muda cenderung lebih dinamis dan mudah berubah
persepsi politiknya terutama jika terpengaruh oleh lingkungan. Maka pemilih
milenial semestinya harus bijak dalam mengelola sebuah informasi baik itu dari
dunia maya maupun yang lainya. Apabila pemilih pemula dan pemilih muda
dibimbing dan diarahkan dengan baik maka dapat menjadi penentu kemajuan dan
keberhasilan demokrasi di tingkat daerah maupun nasional. Kontribusi pemuda
sangatlah diperlukan, secara realita banya pemuda yang terdogma bahwa politik
memiliki stigma yang buruk, apabila dilihat dari banyaknya kasus penyelewengan
wewenang oleh oknum-oknum politik yang disebutkan beberapa media. Di sisi
lain, banyak juga pemuda yang berpartisipasi dalam pemilu, misalnya tidak
sedikit kandidat peserta pemilu yang muncul dari kaum muda yang nota bene ingin
menjadikan perubahan. Maka kaum muda harus siap dengan segala bentuk informasi
yang berkembang di masyarakat serta
harus cerdas memfilter sebuah informasi yang telah diterima. Hal ini merupakan
tantangan bagi kaum muda, untuk membawa dirinya menjadi bagian pemilih milenial
yang bijak atau pemilih milenial yang sekedar memilih/abal abal. Munculnya
pemilih milenial diharapkan bisa memperbaiki sistem pemerintahan di Indonesia
dan bukannya malah acuh dan tidak peduli serta berujung pada tingkat
kepercayaan yang rendah terhadap politisi dan sinis terhadap berbagai lembaga
pemerintahan.
Editor :
Alim MUstofa
Publiser : Malangguide.com