SUBURNYA POLITIK DINASTI

SUBURNYA POLITIK DINASTI

Senin, 06 Januari 2020, 00.30

Oleh : Dr. Nofi Sri Utami, S.Pd.,S.H.,M.H


Dosen PascaSarjana Universitas Islam Malang

MALANGGUIDE - Menyongsong pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada 23 September 2020 di 270 daerah yang meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Tentunya dalam pelaksanaanya akan menimbulkan persoalan. Salah satunya yaitu politik dinasti. Politik dinasti diartikan sebagai kekuasaan politik yang dijalankan sekelompok orang yang masih dalam hubungan keluarga, baik karena garis keturunan, hubungan darah, atau karena ada ikatan perkawinan. Menurut Mahkamah Konstitusi Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik  yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih indenik dengan kerajaan. sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak. agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga.Berdasar artikel yang tayang di tribun bahwa munculnya politik dinasti ini berawal dari majunya putra sulung Jokowi yaitu Gibran Rakabuming Raka diketahui maju di Pilwalkot Solo,serta menantu Bobby Nasution maju di Pilwalkot Medan.Selain itu, Siti Nur Azizah yang merupakan putri Wakil Presiden Ma'ruf Amin turut maju dalam pilkada di Tangerang Selatan. Tak berhenti di situ, pada pemerintah lokal juga telah menjamur politik dinasti misalkan di daerah Tuban. putra dari Bupati Tuban Fathul Huda, yakni Fredy Ardlian juga ikut mendaftar sebagai calon bupati Tuban. 
Dilaksanakanya Pemilihan Kepala Daerah yang disebut dengan Pilkada bertujuan memberikan kesempatan yang sama kepada  setiap orang untuk mengakses jabatan publik baik sebagai gubernur, bupati maupun wali kota. Nyatanya  pilkada serentak justru menumbuh suburkan dinasti politik di daerah. Kepemimpinan daerah didominasi keluarga inti dan sanak saudara. Tentunya akan menimbulkan kecenderungan bahwa  Kepala daerah yang sudah menjabat dua periode, akan menyiapkan anak keturunanya untuk menggantikannya. Tak hanya anak keturunan tetapi istri bisa menggantikan bapak/suaminya, ketika jabatan telah habis dan tidak memungkinkan maju kembali. Anak menantu, adik, kakak, dan keponakan bisa menjadi alternatif ketika keluarga inti tidak bisa diharapkan menggantikan.. Hal ini akan menimbulkan mata rantai yang sangat berbahaya. Dikatakan bahaya karena ketika  politik dinasti terjadi maka menjadikan kekuasaan tetap berada di seputaran keluarga. Tentunya akan menutup kesempatan orang lain. Tidak serta merta berhenti disitu,  bahwa Politik dinasti ini takan meniadakan fungsi checks and balances dalam pemerintahan. Kita tentu akan  sulit mengharapkan seorang anggota legislatif untuk mengkritisi eksekutif yang berasal dari dinasti/keluarga yang sama.
Hal yang menakutkan dan menjadi kekhawatiran yaitu terjadinya politik dinasti akan mengakibatkan korupsi. Berdasar  pada data Indonesian Corruption Watch (ICW) setidaknya terdapat lima dinasti politik yang terlibat kasus korupsi di beberapa tahun yang lalu.
1.      dinasti Ratu Atut Choisyiah di Banten. Selain meyuap ketua MK, Akil Mochtar, Atut juga terbukti korupsi dalam pengadaan alat kesehatan. Sampai saat ini, dinasti Atut masih dianggap sebagai dinasti politik yang kuat di Banten.
2.      Dinasti Kutai Kartanegara. Syaukani Hassan dan Rita Widysari adalah ayah dan anak, keduanya mantan bupati Kutai Kartanegara dan sama-sama terjerat kasus korupsi.
3.      dinasti Cimahi. Itoc Tochija dan Atty Suharti menjadi tersangka kasus suap proyek pasar Cimahi. Ketika menjadi tersangka, Atty adalah walikota Cimahi, meneruskan kepemimpinan suaminya yang sudah menjabat dua periode.
4.      adalah dinasti Fuad Amin di Bangkalan, Madura. Apa yang terjadi di Bangkalan ini barangkali adalah ironi di sebuah negeri demokrasi. Fuad Amin menjabat Bupati Bangkalan selama dua periode dan dilanjutkan anaknya, Makmun Ibnu Fuad. Fatalnya, di saat yang sama Fuad Amin justru menjabat sebagai ketua DPRD Bangkalan. Dapat dibayangkan bagaimana dua lembaga politik yang seharusnya saling mengawasi justru dipegang oleh anak dan ayah. Desember 2014, Fuad Amin digelandang KPK lantaran kasus suap senilai 18 miliar rupiah.
5.      dinasti Klaten yang digawangi oleh keluarga Haryanto. Ia sendiri menjabat Bupati Klaten selama dua periode. Istrinya, Sri Hartini masuk ke gelanggang politik dengan menjadi wakil Bupati Klaten, Sunarna. Karir Hartini pun berlanjut menjadi Bupati Klaten. Ia ditangkap KPK pada Desember 2016 atas tindakan jual beli jabatan.
6.      dinasti Banyuasin. Yan Anton Ferdian ditangkap KPK karena kasus suap di Dinas Pendidikan Banyuasin. Ferdian adalah anak dari bupati Banyuasin dua periode sebelumnya, yakni Amiridun Inoed.
Beberapa contoh kasus di atas menunjukkan rentannya dinasti politik terhadap kasus korupsi. Lingkaran kekuasaan yang berasal dari relasi kekeluargaan. Menyikapi hal tersebut, masyarakat Indonesia cenderung permisif. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya yaitu minimnya pengetahuan masyarakat mengenai dampak negatif dari dinasti politik serta  Masyarakat belum mememahami bahwa  politik dinasti adalah penyimpangan terhadap esensi demokrasi dan rawan tindakan korupsi. Sehingga masyarakat, apalagi kalangan bawah cenderung tidak mempermasalahkan hal itu. Tidak serta merta itu, adanya sikap mengutamakan kepentingan suatu kelompok, ras, agama atau suku tertentu menjadikan masyarakat memiliki pola pikir yang cenderung tertutup dan sulit menerima pilihan baru, meski pilihan itu menjanjikan perubahan ke arah lebih baik. Hal ini tentunya menjadikan politik dinasti menjadi subur dan membudaya.  






TerPopuler